MENYOAL SISTEM PENDIDIKAN DAN GENERASI MILLENIAL BANGSA

Oleh : Deki.R.Abdillah (Ilmu Pemerintahan 2016)

Ada persoalan besar yang hari ini terlihat pelik bagi kemajuan bangsa kedepan, masalah yang kemudian dianggap menjadi semacam hal yang lumrah untuk dimaklumi. Padahal masalah ini sebenarnya menjadi titik penentu bagi kelangsungan bangsa ini untuk  berpuluh tahun yang akan datang, masalah yang sebenarnya salah satunya  diakibatkan penerapan sistem pendidikan  yang suka tidak suka harus diakui dan diterima oleh pemerintah saat ini.

Sistem Pendidikan yang keliru

Masalah krusial yang dialami bangsa kita sekarang bukan hanya tentang pejabat yang korup atau para anggota DPR yang tidak memperdulikan nasib rakyatnya tapi lebih dari itu adalah hari ini kita melihat bagaimana generasi muda kita dalam hal ini adalah mahasiswa tidak peduli dengan apa yang terjadi di negaranya, bahkan dengan keadaan sosial disekitarnya. Mahasiswa zaman now kebanyakan menjadi mahasiswa apatis atau bahasa lainnya mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang – kuliah pulang), kondisi yang sudah menjadi pemandangan umum di kebanyakan kampus yang ada.

Salah satu hal yang menjadi penyebab utama  timbulnya  permasalahan ini adalah sistem pendidikan yang mengekang dan membatasi mahasiswa. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM)  Obed Kresna dalam acara mata najwa beberapa waktu yang lalu bahwa sistem pendidikan kita mengharuskan kita membuat tugas setiap saat sehingga tidak ada lagi waktu untuk berdikusi dan mengikuti kegiatan organisasi di kampus. Kebanyakan waktu mahasiswa habis untuk mengikuti kegiatan akademik di kelas dan mengerjakan tugas di rumah karena orientasi kebanyakan mahasiwa adalah bagaimana mendapatkan IPK yang bagus di kampus. Disaat negara lain berlomba-lomba menerapkan sistem pendidikan yang efektif dan tidak memberatkan pelajarnya, kita masih saja berkutat pada sistem klasik nan menyesatkan.

Di sistem pendidikan kita, kelas matematika dianggap jauh lebih penting ddibandikan kelas seni. Orang tua murid akan senang ketika anaknya mendapatkan nilai 70 di kelas matematika dari pada mendapat nilai 90 di kelas seni. Paradigma demikian terus tumbuh dan berkembang di dalam sistem pendidikan kita, kelas matematika memang penting namun tidak boleh dianggap lebih penting dari kelas lain.

Masalah klasik yang tak kunjung selesai

Membahas masalah ini boleh dikatakan sedikit membosankan, betapa tidak ini adalah masalah lama yang mengakar dan mendarah daging dalam pendidikan kita. Masalah yang terjadi sekian lama ini yang membuat hari ini kita melihat apa yang terjadi dengan generasi millenial bangsa kita sekarang. Akibat dari sistem pendidikan yang mengekang dan membatasi gerak-gerak generasi muda, karena hakikatnya belajar itu bukan hanya soal tentang duduk mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru namun lebih dari itu  adalah belajar untuk menggali potensi diri dan membentuk karakter kepemimpinan yang baik. Sejatinya generasi muda harus ditempah untuk menjadi pemimpin yang handal di masa depan, namun jika melihat kenyatannya sekarang hal itu seperti jauh api dari panggang.

Berulang-ulang studi banding yang dilakukan oleh wakil rakyat di pusat dan di daerah belajar ke negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang maju, namun tetap tidak mampu merumuskan suatu sistem yang dapat mendukung dan menjadi wadah bagi generasi muda belajar sekaligus menempah karakter pemimpin yang di kemudian hari di harapkan dapat memperbaiki kondi bangsa kita sekarang.

Antara nilai akademik dan aktivis

Dengan keadaan yang ada sekarang, mahasiswa kemudian terpaksa harus memilih mengejar nilai akademis atau mengejar potensi diri dengan menjadi mahasiswa aktif dalam berorganisasi. Bukan pilihan yang mudah tentunya mengingat kedua hal tersebut sama pentingnya dan rasanya sulit untuk  ditinggalkan salah satunya. Setiap mahasiswa tentunya menginginkan nilai yang tinggi agar kemudian dapat bekerja atau melanjutkan studi ke tempat yang diinginkan, namun apa arti nilai yang tinggi jika tidak diimbangi dengan karakter yang baik dan tentunya sifat kepemimpinan yang diperlukan di masyarakat tentunya.

Hakikat pendidikan adalah membentuk generasi muda intelektual yang kelak akan berkontribusi memajukan negara dengan kembali ke masyarakat, tentunya pembelajaran tentang hal itu tidak bisa didapatkan dengan hanya belajar di kelas apa lagi dengan tugas-tugas yang memberatkan mahasiswa. Bukan tentang mahasiswa yang tidak ingin mengerjakan tugas, namun jika tugas tersebut terlampau banyak dan kemudian malah membuat fokus mahasiswa hanya untuk mengerjakan hal tersebut apa ini yang kita sebut pendidikan yang membentuk karakter? Jawabannya adalah tidak.

Solusi yang tidak kunjung datang

Menanti solusi dari pemerintah sepertinya bukan sebuah jawaban dari permasalahan, yang bisa dilakukan sekarang adalah berusaha mendapatkan nilai akademik yang bagus di kelas dan tetap peduli dengan masalah sosial yang terjadi disekitar kita. Mulai sekarang nampaknya kita harus menerima bahwa  sistem pendidikan kita tidak mendukung kita untuk berkembang dan menggali potensi yang ada pada diri kita tapi lebih kepada agar kita duduk manis di dalam kelas dan hanya mengerjakan tugas.

Pada akhirnya penulis berharap kita sebagai generasi muda bangsa dapat menjadi mahasiswa yang memiliki intelektual tinggi dan tetap dapat peduli terhadap permasalahan yang di hadapi bangsa kita sekarang, generasi muda yang menjadi penghubung di tengah masyarakat dapat memberikan solusi dan peran yang nyata di tengah masyarakat karena itu lah hakikat kita sebagai generasi muda pelurus bangsa.

Dimuat pada Jambi Independent edisi 26 februari 2018