Membangun Jiwa Kepemimpinan Secara Dini

Oleh : H. NAVARIN KARIM, Drs. H. M.Si.

MUNGKIN anda pernah mencermati kelompok anak-anak bermain, adakalanya salah satu diantaranya mengajak bermain tetapi teman-temannya tidak digubris alias direspon. Ada pula seseorang dalam kelompok tersebut, setiap ia mengajak rekan-rekannya bermain, langsung semuanya bereaksi cepat untuk bermain. Anak seperti inilah yang disebut mempunyai bakat sebagai pemimpin.

Dia dilahirkan sebagai pemimpin (Leader is born), karena mampu mempengaruhi kawan-kawannya, ia punya magnit. Apakah karena kharismanya atau bisa juga karena ditakuti rekan-rekannya. Itu tidak terlalu penting, yang jelas ia punya kemampuan menggerakkan kawan-kawannya. Inilah yang dimaksudkan teori genetis dalam kepemimpinan.

Ada lagi paradoks yang sering penulis temukan ketika berada di ruang kelas mahasiswa. Ia dipercaya dan dipilih rekan-rekan sebagai ketua tingkat, namun anehnya dia yang menghubungi sendiri dosen yang akan mengajar pada sesi tersebut, dia yang mengambil absen di bagian Tata Usaha, dia yang yang menyiapkan spidol, infocus, dan lainnya. Seolah dia yang mempersiapkan semua kebutuhan dosen sehingga terselenggaranya perkuliahan.

Ini bukan manager, apalagi seorang pemimpin. Jika ia seorang manager tentunya harus mampu melakukan pembagian tugas dan menggerakkan rekan-rekannya. Seyogianya ia tinggal mengontrol pembagian tugas yang sudah dilakukannya, tanpa harus mondar-mandir menyiapkan sesuatu agar terselenggaranya perkuliahan. Ketua tingkat seperti ini tidak layak disebut sebagai Manager apalagi sebagai Leader, karena ia kurang mampu mempengaruhi kawan-kawannya.

Hampir sama yang terjadi di instansi pemerintahan maupun swasta sekarang ini. Seseorang karena pendidikan S2 dan S3 langsung melejit ditunjuk menjadi pemimpinan puncak (top manager). Padahal untuk menjadi pimpinan puncak disyaratkan memiliki 75 % Managerial Skill/keterampilan memimpin. Ini hanya diperoleh dari pengalaman dan ia dituntut 25 % Technical Skill/pengetahuan lapangan.